KERAJAAN KUTAI
KERAJAAN KUTAI
Sejarah Keraajaan Kutai
Pada
1300 Kerajaan Kutai Kartanegara didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti yang
sekaligus menjadi raja pertamanya hingga 1325 M.
Letak kerajaan
bercorak hindu ini berdekatan dengan Kerajaan Kutai Martadipura, yang lebih
dulu berdiri kawasan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Akibatnya,
sering terjadi perselisihan yang akhirnya memuncak pada abad ke-17 ketika kedua
kerajaan terlibat perang.
Di bawah Raja
Pangeran Sinum Panji Mendapa, Kutai Kartanegara, yang telah berubah menjadi
kerajaan Islam, berhasil menaklukkan Kutai Martadipura.
Raja
dan Masa Kejayaan Kerajaan Kutai
Kerajaan
Kutai Martadipura yang terletak di tepi sungai Mahakam, Kutai, Kalimantan Timur
ini diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi. Kerajaan ini didirikan oleh
Kudungga yang merupakan seorang kepala adat yang berpengaruh.
Sebelum
mendirikan kerajaan, Kudungga diketahui belum memeluk agama Hindu. Kemudian,
setelah agama Hindu masuk ia mengubah sistem pemerintahan menjadi kerajaan.
Setelah
Kudungga wafat, kerajaan dipimpin oleh sang anak, yakni Asmawarman. Ia
dinobatkan menjadi raja dengan cara Hindu dan diberi gelar sebagai Wangsakerta
yang artinya 'Pembentuk Keluarga'.
Semasa
memimpin, ia dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Ketika ia wafat, anak
laki-lakinya, Mulawarman yang melanjutkan pemerintahannya. Di masa ini juga,
Kerajaan Kutai mendapatkan masa kejayaan.
Mulawarman
dikenal sebagai raja terbesar dalam sejarah kerajaan tersebut. Wilayah
kekuasaan diketahui mencakup hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur sehingga
rakyatnya bisa hidup sejahtera dan makmur.
Selain itu,
ia juga dikenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana. Ia pernah memberikan
sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana sehingga namanya tercatat dalam
Yupa peninggalan kerajaan Kutai.
Berubah menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara
Aji Raja Mahkota Mulia Alam, yang berkuasa antara
1545-1610 adalah raja Kerajaan Kutai Kartanegara pertama yang memeluk Islam,
yakni pada 1575.
Namun, Islam baru benar-benar diterima secara luas
pada abad ke-17, ketika dibawa oleh Tuan Tunggang Parangan dari Makassar.
Karena raja telah memeluk Islam, ia segera membangun
sebuah masjid dan membuka pengajaran Islam.
Selanjutnya, banyak nama Islami yang akhirnya
digunakan oleh raja dan keluarganya.
Sebutan raja pun diganti dengan sultan, dan penguasa
Kerajaan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islam adalah Sultan
Aji Muhammad Idris (1735-1739).
Sultan Aji Muhammad Idris kemudian memindahkan ibu
kota kerajaan dari Kutai Lama ke Pemarangan.
Selain itu, Sultan Idris dikenal sebagai penguasa yang
sangat gigih melawan penjajahan Belanda.
Ia bahkan wafat di Sulawesi Selatan, saat bertempur
melawan VOC bersama rakyat bugis.
Keruntuhan Kerajaan Kutai Kartanegara
Kemudian pada 1825, atas inisiatif G. Muller yang menjadi residen di
Banjarmasin, Kerajaan Kutai Kartanegara diikat secara resmi oleh
Belanda.
Hal ini dilakukan karena Kutai memiliki kekayaan alam yang sangat
melimpah dari hasil batu bara, sarang burung walet, emas, dan hasil hutan.
Keadaan kerajaan menjadi semakin terpuruk dengan kedatangan perompak
dari Sulu yang mengganggu stabilitas perdagangan dan ekonominya.
Hingga masa kependudukan Jepang, status Kerajaan Kutai Kartanegara belum
berubah, yakni masih menjadi daerah vasal.
Seiring pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda, wilayah Kesultanan
Kutai Kertanegara tergabung dalam Republik Indonesia Serikat.
Kemudian pada 21 Januari 1960, pemerintahan
Kerajaan Kutai Kertanegara resmi berakhir setelah serah terima dari Sultan Aji
Muhammad Parikesit dalam Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai di
Tenggarong.
Kerajaan Kutai
Kartanegara dihidupkan kembali
Pada 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan
Rais, berniat untuk menghidupkan kembali Kerajaan Kutai Kartanegara.
Hal ini tidak dimaksudkan untuk menghidupkan feodalisme,
tetapi untuk melestarikan warisan sejarah dan budaya.
Setelah mendapatkan persetujuan presiden, Putra
Mahkota Kerajaan Kutai Kartanegara, Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II
dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara.
- Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
- Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
- Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
- Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
- Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
- Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
- Aji Dilanggar (1610-1635)
- Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (1635-1650)
- Aji Pangeran Dipati Agung (1650-1665)
- Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma (1665-1686)
- Aji Ragi (1686-1700)
- Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)
- Aji Pangeran Anum Panji Mendapa (1710-1735)
- Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778)
- Sultan Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
- Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
- Sultan Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
- Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
- Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
- Sultan Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
- Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II (2001-2018)
- Sultan Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat (2018-sekarang)
Komentar
Posting Komentar